Hatta dilahirkan pada 12 Agustus 1902 di Fort de Kock (sekarang Kota Bukittinggi, Sumatera Barat) dengan nama Muhammad Athar. Ia
merupakan putra dari pasangan Mohammad Djamil asal Batu
Hampar, Akabiluru,
Lima Puluh Kota
dan Siti Saleha asal Kurai, Bukittinggi.[2] Ayahnya merupakan anggota keluarga
ulama terkemuka di Minangkabau yang
meninggal saat Hatta berusia delapan bulan. Sedangkan ibunya datang dari
keluarga pedagang yang terpandang.
Ia menempuh pendidikan dasar di Sekolah Melayu Fort de Kock dan pada tahun 1913-1916
melanjutkan studinya ke Europeesche Lagere School (ELS)
di Padang. Saat usia 13 tahun, sebenarnya ia telah
lulus ujian masuk ke HBS (setingkat SMA) di Batavia (kini Jakarta), namun ibunya menginginkan
Hatta agar tetap di Padang dahulu, mengingat usianya yang masih muda. Akhirnya
Bung Hatta melanjutkan studi ke MULO di Padang. Baru pada tahun 1919
ia pergi ke Batavia untuk studi di Sekolah Tinggi Dagang
"Prins Hendrik School". Ia menyelesaikan studinya dengan hasil sangat
baik, dan pada tahun 1921, Bung Hatta pergi ke Rotterdam, Belanda untuk belajar ilmu perdagangan/bisnis di
Nederland Handelshogeschool (bahasa inggris: Rotterdam School of Commerce, kini
menjadi Universitas
Erasmus). Di Belanda, ia kemudian tinggal selama 11 tahun.
Pada tangal 27 November 1956,
Bung Hatta memperoleh gelar kehormatan akademis yaitu Doctor Honoris Causa dalam Ilmu Hukum dari Universitas Gadjah Mada
di Yogyakarta. Pidato
pengukuhannya berjudul "Lampau dan Datang".
Perjuangan
Saat berusia 15 tahun, Hatta merintis karier sebagai aktivis organisasi,
sebagai bendahara Jong Sumatranen Bond
Cabang Padang. Di kota ini Hatta mulai menimba pengetahuan perihal perkembangan
masyarakat dan politik, salah satunya lewat membaca berbagai koran, bukan saja
koran terbitan Padang tetapi juga Batavia. Lewat itulah Hatta
mengenal pemikiran Tjokroaminoto dalam
surat kabar Utusan Hindia, dan Agus Salim dalam
Neratja. Kesadaran politik Hatta makin berkembang karena kebiasaannya
menghadiri ceramah-ceramah atau pertemuan-pertemuan politik. Salah seorang
tokoh politik yang menjadi idola Hatta ketika itu ialah Abdul Moeis.
Di Batavia, ia juga aktif di Jong Sumatranen Bond Pusat sebagai Bendahara.
Ketika di Belanda ia bergabung dalam Perhimpunan Hindia (Indische Vereeniging).
Saat itu, telah berkembang iklim pergerakan di Indische Vereeniging.
Sebelumnya, Indische Vereeniging yang berdiri pada 1908 tak lebih dari ajang
pertemuan pelajar asal tanah air. Atmosfer pergerakan mulai mewarnai Indische
Vereeniging semenjak tibanya tiga tokoh Indische Partij (Suwardi Suryaningrat,
Ernest Douwes Dekker,
dan Tjipto Mangunkusumo)
di Belanda pada 1913 sebagai orang buangan akibat tulisan-tulisan tajam
anti-pemerintah mereka di media massa.
Pada usia 17 tahun, Hatta lulus dari sekolah tingkat menengah (MULO).
Lantas ia bertolak ke Batavia untuk melanjutkan studi di Sekolah Tinggi Dagang
Prins Hendrik School. Di sini Hatta mulai aktif menulis. Karangannya dimuat dalam majalah Jong
Sumatera, "Namaku Hindania!" begitulah judulnya. Berkisah perihal
janda cantik dan kaya yang terbujuk kawin lagi. Setelah ditinggal mati
suaminya, Brahmana dari Hindustan, datanglah musafir dari Barat bernama Wolandia, yang kemudian
meminangnya. "Tapi Wolandia terlalu miskin sehingga lebih mencintai hartaku daripada diriku dan
menyia-nyiakan anak-anakku," rutuk Hatta lewat Hindania.
Pemuda Hatta semakin tajam pemikirannya karena diasah dengan beragam
bacaan, pengalaman sebagai Bendahara Jong Sumatranen Bond
Pusat, perbincangan dengan tokoh-tokoh pergerakan asal Minangkabau yang mukim
di Batavia, dan diskusi dengan temannya sesama anggota JSB: Bahder Djohan. Setiap Sabtu, ia dan Bahder Djohan
punya kebiasaan keliling kota. Selama berkeliling kota, mereka bertukar pikiran
tentang berbagai hal mengenai tanah air. Persoalan utama yang kerap pula mereka
perbincangkan ialah perihal memajukan Bahasa Melayu. Untuk itu, menurut Bahder Djohan
perlu diadakan suatu majalah. Majalah dalam rencana Bahder Djohan itupun sudah
ia beri nama Malaya. Antara mereka berdua sempat ada pembagian pekerjaan. Bahder
Djohan akan mengutamakan perhatiannya pada persiapan redaksi majalah, sedangkan
Hatta pada soal organisasi dan pembiayaan penerbitan. Namun, “karena berbagai
hal cita-cita kami itu tak dapat diteruskan,” kenang Hatta lagi dalam
Memoir-nya.
Selama menjabat Bendahara JSB Pusat, Hatta menjalin kerjasama dengan
percetakan surat kabar Neratja. Hubungan itu terus berlanjut meski Hatta berada
di Rotterdam, ia dipercaya sebagai koresponden.
Suatu ketika pada tahun 1922, terjadi peristiwa yang mengemparkan Eropa.
Turki yang dipandang sebagai "Orang Sakit
dari Eropa", memukul mundur tentara Yunani yang dijagokan Inggris. Rentetan pantauan peristiwa tersebut
ditulis Hatta menjadi serial tulisan untuk Neratja di Batavia. Serial tulisan
Hatta itu menyedot perhatian khalayak pembaca. Bahkan banyak surat kabar di tanah air yang mengutip tulisan-tulisan Hatta.
Hatta mulai menetap di Belanda
semenjak September 1921. Ia segera bergabung dalam Perhimpunan Hindia (Indische
Vereeniging). Saat itu, telah tersedia iklim pergerakan di Indische
Vereeniging. Sebelumnya, Indische Vereeniging yang berdiri pada 1908 tak lebih
dari ajang pertemuan pelajar asal tanah air. Atmosfer pergerakan mulai mewarnai
Indische Vereeniging semenjak tibanya tiga tokoh Indische Partij (Suwardi
Suryaningrat, Douwes Dekker, dan Tjipto Mangunkusumo) di Belanda pada 1913
sebagai eksterniran akibat kritik mereka lewat tulisan di koran De Expres.
Kondisi itu tercipta, tak lepas karena Suwardi Suryaningrat (Ki Hadjar Dewantara)
menginisiasi penerbitan Majalah Hindia Poetra oleh Indische Vereeniging mulai
1916. Hindia Poetra bersemboyan “Ma’moerlah Tanah Hindia! Kekallah
Anak-Rakjatnya!” berisi informasi bagi para pelajar asal tanah air perihal
kondisi di Nusantara, tak ketinggalan pula tersisip kritik terhadap sikap
kolonial Belanda.
Pergerakan Hatta dalam Indische Vereeniging tak lagi tersekat oleh ikatan
kedaerahan, sebab Indische Vereeniging berisi aktivis dari beragam latar
belakang daerah. Lagipula, nama Indische –meski masih bermasalah– sudah
mencerminkan kesatuan wilayah, yakni gugusan Kepulauan Nusantara yang secara politis diikat
oleh sistem kolonialisme Hindia-Belanda.
Hatta mengawali karier pergerakannya di Indische Vereeniging sebagai
bendahara pada 19 Februari 1922, ketika terjadi pergantian pengurus Indische
Vereeniging. Ketua lama dr. Soetomo diganti oleh
Hermen Kartawisastra. Momentum suksesi kala itu punya arti penting bagi mereka
di masa mendatang, sebab ketika itulah mereka memutuskan untuk mengganti nama
Indische Vereeniging menjadi Indonesische Vereeniging dan kelanjutannya
mengganti nama Nederland Indie menjadi Indonesia. Sebuah pilihan nama bangsa yang sarat
bermuatan politik. Dalam forum itu pula, salah seorang anggota Indonesische
Vereeniging menyatakan bahwa dari sekarang kita mulai membangun Indonesia dan
meniadakan Hindia atau Nederland Indie.
Pada tahun 1927, Hatta bergabung dengan Liga Menentang Imperialisme dan
Kolonialisme di Belanda. Dan dari sinilah ia bersahabat dengan nasionalis
India, Jawaharlal Nehru.
Aktivitasnya dalam organisasi ini menyebabkan Hatta ditangkap pemerintah
Belanda. Hatta akhirnya dibebaskan, setelah melakukan pidato pembelaannya yang
terkenal: Indonesia Free.
Pada tahun 1932, Hatta kembali ke Indonesia dan bergabung dengan organisasi
Club Pendidikan Nasional Indonesia yang bertujuan meningkatkan kesadaran
politik rakyat Indonesia melalui proses pelatihan-pelatihan. Belanda kembali
menangkap Hatta, bersama Soetan Sjahrir,
ketua Club Pendidikan Nasional Indonesia pada bulan Februari 1934.
Hatta diasingkan ke Digul dan kemudian ke Bandaneira selama 6 tahun.
Pada tanggal 9 Maret 1943 setelah datangnya militer Jepang ke Indonesia,
Jepang membentuk Pusat Tenaga Rakyat (Putera) dimana Hatta dan Soekarno
ditunjuk sebagai ketuanya. Soekarno berpikir bahwa ini akan menjadi cara agar
mereka bisa mendapatkan dukungan bagi kemerdekaan Indonesia. Pada bulan
November 1943, usaha Hatta dan Soekarno untuk bekerja sama dengan pemerintah
Jepang diakui oleh Kaisar Hirohito yang dihiasi dengan
penghargaan di Tokyo.
Setelah gelombang Perang Pasifik mulai
berbalik dengan kekalahan yang dialami oleh tentara Jepang, pemerintah Jepang
membubarkan Putera dan diganti dengan Djawa Hokokai pada Maret 1944. Ketika
kekalahan mulai membayang di pihak Jepang, Perdana Menteri Koiso Kuniaki mengumumkan pada bulan September
1944 bahwa Jepang akan memberikan kemerdekaan Indonesia dalam waktu dekat.
Sejak saat itu momentum mulai berkumpul untuk kemerdekaan Indonesia.
Didorong oleh sentimen nasionalis Indonesia dan didukung oleh simpatisan dari
Jepang seperti Laksamana Maeda.
Dalam hal Maeda, ia bahkan mendirikan sebuah forum diskusi yang disebut "Kemerdekaan
Indonesia Centre" dan mengundang Hatta serta Soekarno untuk memberikan
kuliah tentang nasionalisme. Hal ini diikuti pada bulan April 1945, dengan
pembentukan Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(BPUPKI). BPUPKI akan bertemu selama tiga bulan ke depan dan akan memutuskan
hal-hal seperti konstitusi dan wilayah yang akan menjadi bagian dari Indonesia.
Persiapan kemerdekaan
Pada bulan Agustus 1945, Jepang akhirnya menyetujui kemerdekaan Indonesia
dan membentuk Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Tanggal 8 Agustus 1945,
Hatta dan Sukarno dipanggil ke Saigon, untuk bertemu dengan Marsekal Terauchi, panglima pasukan Jepang di Asia Tenggara. Terauchi mengatakan kepada Hatta
dan Soekarno bahwa PPKI akan terbentuk pada 18 Agustus dan bahwa Indonesia akan
merdeka dengan pengawasan Jepang.
Hatta dan Soekarno kembali ke Indonesia pada 14 Agustus. Dalam hal Hatta, Sutan Sjahrir sudah menunggunya dengan berita
tentang bom atom di Hiroshima dan Nagasaki. Sjahrir mengatakan kepada Hatta bahwa
mereka harus mendorong Soekarno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia segera,
karena dalam beberapa hari orang Jepang mungkin tidak ada untuk memberikan
pengawasan. Sjahrir mengatakan Hatta tidak perlu khawatir tentang pemerintah
Jepang karena rakyat akan berada di pihak mereka.
Sjahrir dan Hatta kemudian pergi menemui Soekarno, dimana Syahrir
mengulangi argumennya di depan Soekarno. Hatta kemudian berbicara, mengatakan
bahwa dia khawatir Sekutu akan melihat mereka sebagai kolaborator Jepang.
Soekarno juga punya perasaan ini dan Syahrir meninggalkan rapat karena
frustrasi.
Hari berikutnya pada tanggal 15 Agustus 1945, Jepang menyerah kepada
Sekutu. Di Indonesia, berita itu hanya rumor dan belum dikonfirmasi. Hatta dan
Soekarno pergi ke kantor pemerintah Jepang di Jakarta, dan menemukan kantor itu
telah kosong. Hatta dan Soekarno kemudian pergi ke Maeda yang menegaskan bahwa
Jepang telah menyerah kepada Sekutu. Hatta dan Soekarno tampak terkejut bahwa
Jepang telah menyerah. Selama siang hari, Hatta dan Soekarno berhadapan dengan pemuda
Indonesia yang menginginkan kemerdekaan untuk diikrarkan sesegera mungkin.
Sebuah perdebatan panas terjadi, dan Soekarno meminta para pemuda untuk lebih
sabar.
Pada pagi hari tanggal 16 Agustus 1945, para pemuda Indonesia menculik
Hatta dan Soekarno, dan membawa mereka ke Rengasdengklok.
Disini para pemuda terus berusaha untuk memaksa Hatta dan Soekarno menyatakan
kemerdekaan, tetapi tidak berhasil. Di Jakarta terjadi kepanikan, dimana PPKI
telah memulai pertemuan hari itu dan merencanakan untuk memilih Soekarno
sebagai ketua dan Hatta sebagai wakil ketua. Ketika informasi tentang
keberadaan Hatta dan Soekarno diketahui dan penyerahan Jepang telah dikonfirmasi,
Achmad Subardjo, seorang anggota PPKI pergi ke
Rengasdengklok untuk menjemput Hatta dan Soekarno. Malam itu, Hatta dan Sukarno
kembali ke Jakarta menuju rumah Maeda. Di rumah ini mereka menyusun teks Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia.
Pada tanggal 17 Agustus 1945 jam 10 waktu Jawa, Hatta bersama Soekarno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.
Sehari kemudian, secara aklamasi ia diangkat sebagai wakil presiden pertama RI,
mendampingi Soekarno yang menjadi presiden RI. Oleh karena peran tersebut maka
keduanya disebut dwitunggal, Bapak Proklamator Indonesia.
Setelah kemerdekaan
Setelah ditunjuk sebagai wakil presiden RI dalam sidang PPKI, Hatta membuat
tiga keputusan penting pada masa awal kelahiran republik. Pada bulan Oktober,
Hatta membentuk Komite
Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang berperan sebagai lembaga
legislatif, selain sebagai penasehat presiden. Pada bulan yang sama, Hatta juga
mengeluarkan maklumat pembentukan partai politik di Indonesia. Bulan
berikutnya, Hatta juga membuat keputusan yang mengambil peran presiden sebagai
kepala pemerintahan kepada seorang perdana menteri.
Ketika Belanda mulai mengirimkan pasukan mereka kembali ke Indonesia, Hatta
bersama dengan Sjahrir dan Soekarno sepakat untuk melakukan perundingan dengan
pihak Belanda. Hal ini menyebabkan ketegangan dengan unsur-unsur radikal dalam
pemerintahan, seperti pemimpin para pemuda : Chaerul Saleh dan Adam Malik. Pada bulan Januari 1946, Hatta dan
Soekarno pindah ke Yogyakarta, meninggalkan
Sjahrir (yang saat itu menjabat sebagai perdana menteri) untuk memimpin
perundingan di Jakarta.
Pada November 1946 ditandatangani Perjanjian Linggarjati,
yang berisi pengakuan Belanda atas Republik Indonesia. Namun pengakuan Belanda
hanya untuk wilayah Jawa, Sumatera, dan Madura. Selain wilayah itu, republik
ini akan menjadi bagian dari Republik Indonesia
Serikat dengan Ratu Belanda selaku kepala negara. Namun sebelum
kesepakatan itu akhirnya diratifikasi oleh Dewan Perwakilan Belanda, beberapa
kompromi dibuat tanpa persetujuan pihak republik. Akhirnya Indonesia menolak
untuk melaksanakan bagian dalam kesepakatan itu, sehingga terjadi Agresi Militer
Belanda I pada bulan Juli 1947.
Pada masa ini Hatta dikirim ke luar negeri untuk mencari dukungan bagi
Indonesia. Menyamar sebagai ko-pilot pesawat, Hatta menyelinap ke India untuk
meminta bantuan. Disana ia meminta dukungan Nehru
dan Mahatma Gandhi. Nehru meyakinkannya bahwa India
akan mendukung Indonesia di forum internasional seperti Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB).
Pada bulan Desember 1947, diadakan perundingan di atas kapal USS Renville,
dan perjanjian ditandatangani pada Januari 1948. Perjanjian ini lebih
menguntungkan pihak Belanda, dimana Belanda menyerukan kepada pihak republik
untuk mengakui wilayah-wilayah yang telah diambil Belanda selama Agresi Militer
I. Perjanjian ini menyebabkan kemarahan banyak pihak dan memaksa Amir Syarifuddin untuk mengundurkan diri dari
jabatannya sebagai perdana menteri.
Untuk menggantikan Syarifuddin, Soekarno menunjuk Hatta sebagai Perdana
Menteri dan menyatakan bahwa kabinet akan bertanggung jawab kepada Presiden,
bukan KNIP. Pada saat yang sama Hatta juga mengemban posisi sebagai Menteri
Pertahanan. Sebagai Perdana Menteri, Hatta harus membuat keputusan tidak
populer. Pada bulan Agustus 1948, Hatta terpaksa melakukan demobilisasi
beberapa prajurit.
Pada bulan Desember 1948, Belanda melancarkan Agresi Militer II
dan fokus serangan mereka adalah Yogyakarta. Hatta dan Soekarno, bukannya
melarikan diri untuk melakukan perang gerilya, namun memilih untuk tetap
tinggal hingga akhirnya mereka ditangkap. Soekarno memberikan wewenang kepada Pemerintah
Darurat Republik Indonesia (PDRI), sebelum pergi ke pengasingan di Pulau Bangka dengan semua pemimpin republik
lainnya, termasuk Hatta.
Perlawanan di bawah Jenderal Sudirman
dan pasukan TNI, menyebabkan Belanda mendapatkan tekanan internasional. Pada
bulan Mei 1949, Perjanjian Roem-Roijen
ditandatangani dan Belanda berjanji untuk mengembalikan para pemimpin yang
mereka tangkap. Pada bulan Juli 1949, Hatta dan Soekarno kembali ke Yogyakarta.
Pada bulan Agustus 1949, Hatta memimpin delegasi ke Den Haag untuk Konferensi Meja Bundar
(KMB). Pada bulan November 1949, pembentukan Republik Indonesia Serikat
akhirnya disetujui. Ratu Belanda akan terus menjadi kepala negara simbolis,
sementara Soekarno dan Hatta tetap sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Pada
tanggal 27 Desember 1949, pemerintah Belanda akhirnya mengakui kedaulatan
Indonesia. Wakil Presiden Hatta dan Ratu Juliana menandatangani pengakuan
kedaulatan Republik Indonesia.
Setelah KMB, Hatta melanjutkan jabatannya sebagai Perdana Menteri Republik
Indonesia Serikat dan memimpin transisi dari negara federal kepada negara
kesatuan, yang akhirnya resmi terbentuk pada tanggal 17 Agustus 1950.
Peletak dasar ekonomi dan politik
luar negeri Indonesia
Hatta merupakan peletak dasar ekonomi Indonesia yang bertumpu kepada ekonomi
kerakyatan. Salah satu buah pikir Hatta di bidang ekonomi adalah Pasal 33 UUD 1945. Dia juga terlibat dalam kegiatan
intelektual, menulis esai dan buku-buku tentang topik-topik ekonomi. Ide
koperasi yang menjadi bagian integral dari perekonomian Indonesia akan menjadi
proyek kesayangan Hatta. Dan ia akan menjadi promotor terdepan dari ide
tersebut. Pada bulan Juli 1951, pada kesempatan Hari Koperasi, Hatta berbicara
di radio tentang koperasi. Pada tahun 1953 kontribusi Hatta terhadap koperasi,
menjadikannya digelari sebagai "Bapak Koperasi Indonesia" pada
Kongres Koperasi Indonesia.
Selain koperasi, kontribusi utama Hatta dalam pembentukan Republik
Indonesia adalah tata pengaturan kebijakan luar negeri Indonesia. Pada tahun
1948, Hatta menyampaikan pidato berjudul "Mendayung Diantara Dua
Karang". Di dalamnya, ia menyebut Perang Dingin serta konflik antara Amerika Serikat dan Uni Soviet. Hatta mengatakan bahwa kebijakan luar
negeri Indonesia harus menjaga kepentingan sendiri dulu, bukan kepentingan AS
dan Uni Soviet. Dengan mengatakan ini, Hatta ingin menjadikan Indonesia
independen dalam memutuskan sikapnya selama Perang Dingin. Hatta juga
menambahkan, bahwa Indonesia harus menjadi peserta aktif dalam perkembangan
politik dunia. Doktrin ini, yang akan dikenal sebagai doktrin "bebas dan
aktif", terus menjadi dasar dari kebijakan luar negeri Indonesia.
sumber :http://id.wikipedia.org/wiki/Mohammad_Hatta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar