DASAR HUKUM PERJANJIAN
A. PERJANJIAN PADA UMUMNYA
Menurut Pasal 1313 KUH Perdata Perjanjian adalah Perbuatan dengan mana satu
orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Dari
peristiwa ini, timbullah suatu hubungan hukum antara dua orang atau lebih
yang disebut Perikatan yang di dalamya terdapat hak dan kewajiban masing-masing
pihak. Perjanjian adalah sumber perikatan.
A.1. Azas-azas Hukum Perjanjian
Ada beberapa azas yang dapat ditemukan dalam Hukum Perjanjian, namun ada
dua diantaranya yang merupakan azas terpenting dan karenanya perlu untuk
diketahui, yaitu:
1.
Azas Konsensualitas, yaitu bahwa suatu perjanjian dan perikatan yang timbul telah lahir sejak
detik tercapainya kesepakatan, selama para pihak dalam perjanjian tidak
menentukan lain. Azas ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata
mengenai syarat-syarat sahnya perjanjian.
1.
Azas Kebebasan Berkontrak, yaitu bahwa para pihak dalam suatu perjanjian bebas untuk menentukan
materi/isi dari perjanjian sepanjang tidak bertentangan dengan ketertiban umum,
kesusilaan dan kepatutan. Azas ini tercermin jelas dalam Pasal 1338 KUH
Perdata yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah mengikat
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
A.2. Syarat Sahnya Perjanjian
Dalam Pasal 1320 KUH Perdata disebutkan, untuk sahnya suatu perjanjian
diperlukan empat syarat, yaitu:
1.
Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, artinya bahwa para pihak yang
mengadakan perjanjian itu harus bersepakat atau setuju mengenai perjanjian yang
akan diadakan tersebut, tanpa adanya paksaan, kekhilafan dan penipuan.
1.
Kecakapan, yaitu bahwa para pihak yang mengadakan perjanjian harus cakap menurut
hukum, serta berhak dan berwenang melakukan perjanjian.
Mengenai kecakapan Pasal 1329 KUH Perdata menyatakan bahwa setiap orang
cakap melakukan perbuatan hukum kecuali yang oleh undang-undang
dinyatakan tidak cakap. Pasal 1330 KUH Perdata menyebutkan orang-orang
yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian yakni:
- Orang yang belum
dewasa.
Mengenai kedewasaan Undang-undang menentukan sebagai berikut:
(i) Menurut
Pasal 330 KUH Perdata: Kecakapan diukur bila para pihak yang membuat perjanjian
telah berumur 21 tahun atau kurang dari 21 tahun tetapi sudah menikah dan sehat
pikirannya.
(ii) Menurut Pasal 7
Undang-undang No.1 tahun 1974 tertanggal 2 Januari 1974 tentang Undang-Undang
Perkawinan (“Undang-undang Perkawinan”): Kecakapan bagi pria adalah bila
telah mencapai umur 19 tahun, sedangkan bagi wanita apabila telah mencapai umur
16 tahun.
- Mereka yang berada
di bawah pengampuan.
- Orang perempuan
dalam hal-hal yang ditetapkan oleh Undang-Undang (dengan berlakunya
Undang-Undang Perkawinan, ketentuan ini sudah tidak berlaku lagi).
- Semua orang yang
dilarang oleh Undang-Undang untuk membuat perjanjian-perjanjian tertentu.
1.
Mengenai suatu hal tertentu,
hal ini maksudnya adalah bahwa perjanjian tersebut harus mengenai suatu obyek
tertentu.
1.
Suatu sebab yang halal,
yaitu isi dan tujuan suatu perjanjian haruslah berdasarkan hal-hal yang
tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban
Syarat No.1 dan No.2 disebut dengan Syarat Subyektif, karena
mengenai orang-orangnya atau subyeknya yang mengadakan perjanjian,
sedangkan syarat No.3 dan No.4 disebut Syarat Obyektif, karena
mengenai obyek dari suatu perjanjian.
Apabila syarat subyektif tidak dapat terpenuhi, maka salah satu pihak
mempunyai hak untuk meminta supaya perjanjian itu dibatalkan. Pihak yang dapat
meminta pembatalan itu, adalah pihak yang tidak cakap atau pihak yang
memberikan sepakatnya (perizinannya) secara tidak bebas.
Jadi, perjanjian yang telah dibuat itu akan terus mengikat kedua belah
pihak yang mengadakan perjanjian, selama tidak dibatalkan (oleh hakim) atas
permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan tersebut.
Sedangkan apabila syarat obyektif yang tidak terpenuhi, maka perjanjian itu
akan batal demi hukum. Artinya sejak semula tidak pernah dilahirkan suatu
perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan.
A.3. Kelalaian/Wanprestasi
Kelalaian atau Wanprestasi adalah apabila salah satu pihak yang mengadakan
perjanjian, tidak melakukan apa yang diperjanjikan.
Kelalaian/Wanprestasi yang dilakukan oleh salah satu pihak dapat berupa
empat macam, yaitu:
1.
Tidak melaksanakan isi perjanjian.
2.
Melaksanakan isi perjanjian, tetapi
tidak sebagaimana dijanjikan.
3.
Terlambat melaksanakan isi perjanjian.
4.
Melakukan sesuatu yang menurut
perjanjian tidak boleh dilakukannya.
A.4. Hapusnya Perjanjian
Hapusnya suatu perjanjian yaitu dengan cara-cara sebagai berikut:
a. Pembayaran
Adalah setiap pemenuhan hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian
secara sukarela. Berdasarkan pasal 1382 KUH Perdata dimungkinkan
menggantikan hak-hak seorang kreditur/berpiutang. Menggantikan hak-hak seorang
kreditur/berpiutang dinamakan subrogatie. Mengenai subrogatie diatur dalam
pasal 1400 sampai dengan 1403 KUH Perdata. Subrogatie dapat terjadi karena
pasal 1401 KUH Perdata dan karena Undang-undang (Pasal 1402 KUH Perdata).
b. Penawaran pembayaran tunai diikuti oleh penyimpanan atau penitipan uang
atau barang pada Panitera Pengadilan Negeri
Adalah suatu cara pembayaran yang harus dilakukan apabila si berpiutang
(kreditur) menolak pembayaran utang dari debitur, setelah kreditur menolak
pembayaran, debitur dapat memohon kepada Pengadilan Negeri untuk mengesahkan
penawaran pembayaran itu yang diikuti dengan penyerahan uang atau barang
sebagai tanda pelunasan atas utang debitur kepada Panitera Pengadilan Negeri.
Setelah penawaran pembayaran itu disahkan oleh Pengadilan Negeri, maka
barang atau uang yang akan dibayarkan itu, disimpan atau dititipkan kepada
Panitera Pengadilan Negeri, dengan demikian hapuslah utang piutang itu.
c. Pembaharuan utang atau novasi
Adalah suatu pembuatan perjanjian baru yang menggantikan suatu perjanjian
lama. Menurut Pasal 1413 KUH Perdata ada 3 macam cara melaksanakan suatu
pembaharuan utang atau novasi, yaitu yang diganti debitur, krediturnya
(subyeknya) atau obyek dari perjanjian itu.
d. Perjumpaan utang atau Kompensasi
Adalah suatu cara penghapusan/pelunasan utang dengan jalan memperjumpakan
atau memperhitungkan utang piutang secara timbal-balik antara kreditur dan
debitur. Jika debitur mempunyai suatu piutang pada kreditur, sehingga
antara debitur dan kreditur itu sama-sama berhak untuk menagih piutang satu
dengan lainnya.
Menurut pasal 1429 KUH Perdata, perjumpaan utang ini dapat terjadi dengan
tidak membedakan darimana sumber utang-piutang antara kedua belah pihak itu
telah terjadi, kecuali:
(i) Apabila penghapusan/pelunasan itu
dilakukan dengan cara yang berlawanan dengan hukum.
(ii) Apabila dituntutnya pengembalian barang
sesuatu yang dititipkan atau dipinjamkan.
(iii) Terdapat sesuatu utang yang bersumber pada
tunjangan nafkah yang telah dinyatakan tak dapat disita (alimentasi).
e. Percampuran utang
Adalah apabila kedudukan sebagai orang berpiutang (kreditur) dan orang
berutang (debitur) berkumpul pada satu orang, maka terjadilah demi hukum suatu
percampuran utang dengan mana utang-piutang itu dihapuskan, misalnya: debitur
menikah dengan krediturnya, atau debitur ditunjuk sebagai ahli waris tunggal
oleh krediturnya.
f. Pembebasan utang
Menurut pasal 1439 KUH Perdata, Pembebasan utang adalah suatu perjanjian
yang berisi kreditur dengan sukarela membebaskan debitur dari segala
kewajibannya.
g. Musnahnya barang yang terutang
Adalah jika barang tertentu yang menjadi obyek perjanjian musnah, tak lagi
dapat diperdagangkan, atau hilang, hingga sama sekali tak diketahui apakah
barang itu masih ada, maka hapuslah perikatannya, jika barang tadi musnah atau
hilang di luar kesalahan si berutang dan sebelum ia lalai menyerahkannya.
h. Batal/Pembatalan
Menurut pasal 1446 KUH Perdata adalah, pembatalan atas perjanjian yang
telah dibuat antara kedua belah pihak yang melakukan perjanjian, dapat
dimintakan pembatalannya kepada Hakim, bila salah satu pihak yang melakukan
perjanjian itu tidak memenuhi syarat subyektif yang tercantum pada syarat
sahnya perjanjian.
Menurut Prof. Subekti permintaan pembatalan perjanjian yang tidak
memenuhi syarat subyektif dapat
dilakukan dengan dua cara, yaitu:
(i) Secara aktif menuntut pembatalan
perjanjian tersebut di depan hakim;
(ii) Secara pembelaan maksudnya adalah
menunggu sampai digugat di depan hakim untuk memenuhi perjanjian dan baru
mengajukan kekurangan dari perjanjian itu.
1.
i. Berlakunya suatu syarat batal
Menurut pasal 1265 KUH Perdata, syarat batal adalah suatu syarat yang
apabila terpenuhi, menghentikan perjanjian dan membawa segala sesuatu kembali
pada keadaan semula seolah-olah tidak penah terjadi perjanjian.
j. Lewat waktu
Menurut pasal 1946 KUH Perdata, daluwarsa atau lewat waktu adalah suatu
upaya untuk memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perjanjian
dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan
oleh undang-undang.
Dalam pasal 1967 KUH Perdata disebutkan bahwa segala tuntutan hukum, baik
yang bersifat kebendaan, maupun yang bersifat perseorangan hapus karena
daluwarsa dengan lewatnya waktu tiga puluh tahun. Dengan lewatnya waktu
tersebut, maka perjanjian yang telah dibuat tersebut menjadi hapus.
B. STRUKTUR PERJANJIAN
Struktur atau kerangka dari suatu perjanjian, pada umumnya terdiri dari:
1.
Judul/Kepala
2.
Komparisi yaitu berisi
keterangan-keterangan mengenai para pihak atau atas permintaan siapa perjanjian
itu dibuat.
3.
Keterangan pendahuluan dan uraian
singkat mengenai maksud dari para pihak atau yang lazim dinamakan “premisse”.
4.
Isi/Batang Tubuh perjanjian itu sendiri,
berupa syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan dari perjanjian yang disetujui
oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
5.
Penutup dari Perjanjian.
C. BENTUK PERJANJIAN
Perjanjian dapat berbentuk:
§ Lisan
§ Tulisan, dibagi 2 (dua), yaitu:
- Di bawah tangan/onderhands
- Otentik
C.1. Pengertian Akta
Akta adalah suatu tulisan yang memang dengan sengaja dibuat untuk dijadikan
bukti tentang suatu peristiwa dan ditandatangani pihak yang membuatnya.
Berdasarkan ketentuan pasal 1867 KUH Perdata suatu akta dibagi menjadi 2
(dua), antara lain:
a. Akta Di bawah Tangan (Onderhands)
b. Akta Resmi (Otentik).
Akta Di bawah Tangan
Adalah akta yang dibuat tidak di hadapan pejabat yang berwenang atau
Notaris. Akta ini yang dibuat dan ditandatangani oleh para pihak yang
membuatnya. Apabila suatu akta di bawah tangan tidak disangkal oleh Para
Pihak, maka berarti mereka mengakui dan tidak menyangkal kebenaran apa yang
tertulis pada akta di bawah tangan tersebut, sehingga sesuai pasal 1857 KUH
Perdata akta di bawah tangan tersebut memperoleh kekuatan pembuktian yang sama
dengan suatu Akta Otentik.
Perjanjian di bawah tangan terdiri dari:
(i) Akta di bawah tangan biasa
(ii) Akta Waarmerken, adalah
suatu akta di bawah tangan yang dibuat dan ditandatangani oleh para pihak untuk
kemudian didaftarkan pada Notaris, karena hanya didaftarkan, maka Notaris tidak
bertanggungjawab terhadap materi/isi maupun tanda tangan para pihak dalam
dokumen yang dibuat oleh para pihak.
(iii) Akta Legalisasi, adalah suatu akta di bawah
tangan yang dibuat oleh para pihak namun penandatanganannya
disaksikan oleh atau di hadapan Notaris,
namun Notaris tidak bertanggungjawab terhadap materi/isi dokumen melainkan
Notaris hanya bertanggungjawab terhadap tanda tangan para pihak yang
bersangkutan dan tanggal ditandatanganinya dokumen tersebut.
Akta Resmi (Otentik)
Akta Otentik ialah akta yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang yang
memuat atau menguraikan secara otentik sesuatu tindakan yang dilakukan atau
suatu keadaan yang dilihat atau disaksikan oleh pejabat umum pembuat akta
itu. Pejabat umum yang dimaksud adalah notaris, hakim, juru sita pada
suatu pengadilan, pegawai pencatatan sipil, dan sebagainya.
Suatu akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna bagi para
pihak beserta seluruh ahli warisnya atau pihak lain yang mendapat hak dari para
pihak. Sehingga apabila suatu pihak mengajukan suatu akta otentik, hakim harus
menerimanya dan menganggap apa yang dituliskan di dalam akta itu
sungguh-sungguh terjadi, sehingga hakim itu tidak boleh memerintahkan
penambahan pembuktian lagi.
Suatu akta otentik harus memenuhi persyaratan-persyaratan sebagai berikut:
(i) Akta itu harus dibuat oleh atau di hadapan
seorang pejabat umum.
(ii) Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan
oleh undang-undang.
(iii) Pejabat umum oleh atau di hadapan siapa akta itu dibuat,
harus mempunyai wewenang untuk membuat akta itu.